9.8.09

Rosululloh Suka Warna Merah, Bangsa Arab Suka Warna Hijau

Berjuta warna pelangi di dalam dada… cuplikan sebaris bait lyric lagu Agnes Monica terdengar dari  Nsp nada dering handphone kawan di seberang sana yang berujung menanyakan tentang  conten sebuah buku  ESQ-Executive Training karangan Ary Gynanjar yang cukup  fenomenal itu. Fenomenal karena berhasil mengisi khasanah langkah setiap pebisnis atau lebih tepatnya para eksekutif muda dalam membangun jaringan dan mengembangkan bisnisnya dengan etika dan bahkan bukunyapun  best-seller mengisi rak-rak meja kantoran bagai panduan "Kitab Suci" para eksekutif muda di kantor-kantor.
Yang agak aneh dari pertanyaan selanjutnya dari kawan saya itu adalah ketika dia bertanya; “Mas, buku itu mengandung Islam Liberal apa tidak ya…?” Apa..? Saya balik bertanya;..maksudmu JIL ?  Hhe ech.. Ooalaah…ini rupanya yang sesungguhnya fenomenal itu, demikian batin gumam saya.  
Dialog itu kami akhiri ditulisan ini supaya sekedar menjadi catatan diri bahwa; betapa sesungguhnya sudah lama aku tidak pernah lagi melihat indahnya pelangi, bahwa sejak kecil kami sudah kenal bendera sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di halaman sekolah, kantor-kantor juga halaman rumah setiap Agustusan dan bendera itu berwarna Merah dan berwarna Putih. Hanya Merah dan Putih.  

Kini, di hari ini, aku melihat warna bendera-bendera itu berkibar ramai berwarna warni bagaikan warna pelangi saling bertautan menyatu warnanya bila disapu angin. Sungguh indah, ada yang berukuran raksasa, ada yang menjulang memanjang vertical bahkan kadang panjang membentang diatas jalan disertai kalimat slogan. Sungguh, aduhaiii eloknya.

Sepanjang mata memandang, sepanjang sejarah menyulam, warna warni itu tidak seindah warna aslinya. Tentu tidak termasuk warna pelangi ciptaan Tuhan. Karena bila kembali ke pertanyaan kawan saya diatas, cukup bisa ditangkap subtansinya bukan? Kawan saya itu tentu sekedar bermaksud hati-hati dalam memilih atau membeli buku bermutu. Tapi muatan "penilaian" atas  liberal-kah atau tidak-kah isi buku itu, menjadikan sebuah pertanyaan yang sesungguhnya  sangat  fenomenal.  Setidaknya dalam menyikapi segala hal agar senantiasa hati-hati adalah bagus. Tapi memilih sesuatu dengan "rujukan hati" itu lebih penting dan harus ! Sebab rasionalitas semu kadang gemar menjebak.  

Dijaman rasionalitas menjadi ujung tombak "kepemimpinan hidup" semua manusia, peranan akal sering dibenturkan dengan hati sehingga tanpa sadar sering kita kehilangan moment bebas, kebebasan, bebas yang membebaskan, moment selamat menyelamatkan, sebagaimana muatan do'a pada  Assalamu'alaikum kita, sehingga banyak hal mengkendala atas kemajuan yang mestinya sudah bisa dicapai. 
Itulah gambaran trust masyarakat kita akhir-akhir ini. Betapa sekedar memandang warna bendera orang lain saja bisa ber-adu jotos bahkan sering bisa menimbulkan simbah darah  -(simbah darah simbah buyut ..?)-.

Islam liberal sesungguhnya wacana lama, wacana klasik.  Embrio-nya sudah ada sejak manusia sadar mencari Tuhan, dan wacana itu melahirkan ilmu kalam serta berkembang membuahkan ilmu ushuluddin. Rosululloh sendiri senang dengan warna merah melambangkan pribadi pemberani, sedang bangsa Arab menyukai warna hijau karena mengidamkan kesejukan ditengah garang dan gersangnya padang pasir. Tapi bukan berarti beliau membenci apalagi menghilangkan warna lain yang tidak disenanginya. Itu hanya masalah fitroh manusia. Dan tentang perbedaan ”pilihan” itu, Rosululloh Mukhammad Bin Abdullah sudah memprediksi berkat petunjuk Alloh SWT tentang akan datangnya aliran-aliran dan golongan-golongan yang hanya satu bakalan diridloi Alloh SWT, ialah golongan  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan setiap kita tentu sudah dengan percaya diri mengaku dirinya sebagai penegak golongan tersebut. Wallohu’alam.  

Mempertanyakan banyak hal dalam menggali ilmu kehidupan adalah bagian pembelajaran untuk mengenal Tuhan. Bahkan Tuhan senantiasa mengajak umatnya untuk selalu menggunakan akal fikiranya.  Almarkhum Akhmad Wahib, seorang aktifis Islam muda sudah lama mengusung wacana pemikiran ke-Islaman sejak 70-an akhir. Persis seperti metoda pemikiran JIL, hanya saja "kenakalan berfikir" dengan gaya kritis demikian memang mengundang perbedaan yang berisiko. Apalagi bila sudah dibarengi dengan mengibarkan "bendera" dan melembagakanya. Seolah bendera orang lain jelek dan jauh lebih buruk ketimbang benderanya sendiri. Akhirnya benturan terjadi tidak saja pada level pemahaman, pemikiran tapi bisa jadi meningkat ke level perpecahan dan peperangan fisik. 
Seperti yang dikhawatirkan kawan saya tadi…” aku sesungguhnya takut baca buku bila kelak dituduh orang lain ber-aliran ini atau aliran itu…”. Kekhawatiran begitu masih mending kawan, saya punya pengalaman lain lagi. Sekedar membawa teman mampir dan ngobrol bareng dihadiri beberapa orang di rumah, esok paginya saya di interogasi salah seorang jama'ah masjid; "Pak.., Ustadz yang kemarin itu aliranya apa sich...?"  

Astaghfirulloh..., kadang kita ini kok keterlaluan banget ya, sangat berani mengambil alih kewenangan peran Tuhan..? Gampang menilai, menghakimi. Tapi memang ya lucu dengan istilah Islam Liberal, kedengaran ditelinga gagah, modern, avant garde, tapi out-put nya bikin beberapa kalangan merah telinga. Islam Kok Liberal, Islam itu ya Kaaffah. Gitu lho..dik !