11.6.11

Gapai Terang Dengan Menghindari Budaya Pop

Sebuah Tragedi Budaya.
Selalu berubah adalah sifat alam yang telah kita maklumi bersama. Tetapi berubah menjadi lebih buruk kualitasnya, masih ditambah dengan gelap dan tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situasi tersebut adalah sebuah tragedi kehidupan. Mirip dengan situasi Nabi Yunus A.S. yang tersesat ke dalam perut ikan.

Bila situasi seperti itu melibat diri seseorang yang lemah mental, ia akan mudah putus asa dan berusaha menghindari masalahnya dengan berbagai cara negatif. Misalnya bermabuk-mabukan dengan minuman keras atau obat-obatan, bermain perempuan dan bahkan bisa nekat melakukan bunuh diri. 
Lain halnya bila situasi tersebut melanda diri seorang yang enerjik. la segera bereaksi dengan memaki-maki keadaan, mengutuk setiap orang atau bahkan menodongnya. la lemparkan semua pengetahuannya tentang nilai ke tong sampah. Seolah dirinya tak punya andil dalam menciptakan keadaan. Situasi kehidupan pun semakin bertambah gelap, semrawut tak terkendali.
Nabi Yunus A.S. mengatasi masalahnya dengan bertasbih dan mengakui kezaliman diri. Karena subyeknya perorangan. Bila hal tersebut terjadi pada suatu bangsa besar yang heterogen kepercayan dan tradisinya, serta beragam wawasannya tentang kenyataan, solusinya tidak semudah melakukan tasbih akbar, istighosah kubro atau sejenisnya. Karena permasalahannya sudah bukan soal teknis lagi, melainkan lebih esensial dari itu.

Sebuah tragedi kehidupan praktis akan diikuti oleh tragedi budaya. Sedang kebudayaan merupakan sebuah perspektif nilai berdasarkan nilai yang dianggap prima. Bila nilai yang dianggap prima telah menjadi kabur, lenyap dari kesadaran ummat yang sedang mengalami chaos, budayanya pun akan kehilangan perspektif yang menawarkan  kemungkinan. Dengan kata lain bila ummat telah kehilangan kiblatnya yang nyata, hasil budayanya akan menjadi sekedar asal jadi saja.

Bagi golongan kuat yang kehilangan indra kemanusiaannya akan mendapat peluang untuk merealisasi egoismenya. Sedang golongan lemah akan terpuruk kedalam keputus-asaan, ilusi dan khayalan.

Refleksi budayanya dalam bentuk kesenian akan berwujud film-film tentang hantu, tuyul, vampir, dlsb. Selebihnya berupa atraksi dagelan untuk melupakan setumpuk masalah yang tak terjawab.  Sekaligus sebagai pelarian dari kemandulan dirinya dalam berbudaya. Masih ditambah dengan sajian potret-potret tentang kegagalan berbudaya, rekaman tentang penangkapan penyelundup, koruptor, penodongan, pemerkosaan dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah menu harian setiap keluarga yang menggantikan kesibukan rutin berumah tangga seperti menggarap pe-er bagi para siswa, baca buku untuk menambah wawasan, dan melakukan ibadah sunnah atau zikir untuk memotivasi diri dalam menghadapi hari esok yang penuh tantangan. Hal-hal yang semestinya hanya penting buat kalangan tertentu dijajakan secara terbuka di depan para remaja yang belum berbentuk dan belum memiliki filter yang memadai.


Penampilan visual tentang sisi gelap kehidupan yang penuh dengan penyimpangan, pembunuhan sadis dan berbagai macam imajinasi tentang hantu secara terus-menerus di depan generasi muda yang kita harapkan bisa menjadi pelaku budaya yang baik, akan berdampak menyesatkan proses identifikasi diri mereka. Karena masukan melewati mata (pengetahuan visual) pada jiwa seseorang jauh lebih kuat  pengaruhnya dibanding dengan masukan lewat telinga (pengetahuan verbal).
 
Maka tidak mengherankan jika suapan-suapan nilai dari kitab-kitab suci, nasehat orang-tua, guru ngaji dan dosen-dosen plus bibliotika sekolahnya, tidak mendapatkan respon yang positif dari kebanyakan generasi muda, karena di-counter oleh pengetahuan  visual yang mereka saksikan sendiri di dalam perjalanan. Praktis mereka akan menjadi makhluk baru yang aneh, di luar dugaan, dan tanpa kemungkinan yang bisa diharapkan. 

Karena semakin langkanya  keteladanan yang bisa merangsang mereka untuk berkembang. Dan praktis pula akan gulung tikarnya agama-agama dan ajaran moral dari muka bumi pada suatu saat. Padahal, bukankah semua agama hanya menawarkan kemungkinan hidup yang lebih baik, lewat tradisi (sunnah) kepada pemeluknya? Apakah dengan demikian kita bisa menjadi yakin akan keberhasilan Panca Sila sebagai dasar dan falsafah negara?

Tragedi Kesadaran Diri
Tragedi kehidupan tidak mungkin terjadi sebelum masyarakatnya mengalami 'tragedi kesadaran diri' terlebih dahulu. Tragedi kesadaran diri merupakan momen lahirnya Iblis dan Setan di dalam diri seseorang. –(Maaf, jika saya terpaksa menggunakan simbol-simbol lama untuk menjelaskan hal ini, karena belum didapatkan simbol baru yang memadai dan dipahami semua orang, pop atau populer)-.

Bila kesadaran diri seseorang mengalami tragedi, maka semua ungkapan dirinya akan merosot akurasi dan efektifitasnya. Akibatnya ia akan kehilangan kesempatan untuk melahirkan nilai-nilai yang diharapkan (a-budaya).

Momen Lahirnya Iblis
Kesadaran adalah sebuah nyala terang di dalam batin manusia. la mengalami proses tumbuh seiring dengan berkembangnya kehidupan. Ketika 'terang' mencapai puncaknya, individu yang bersangkutan  merasa lebih unggul dari yang lain. Saat itulah lahirnya 'rasa super" (Iblis) dalam dirinya. Segala yang datang darinya dianggap lebih akurat dan layak diterima oleh semua pihak, tanpa harus diuji nilainya bagi kehidupan. 

Proses ekspansi pun dimulai dengan memaksakan pendapat (manipulasi informasi) dan selanjutnya  mendesakkan hajad (menawarkan program) kepada sasarannya. Tawarannya serta-merta akan mendapatkan respon dari pihak yang tensi keterdesakannya lumayan tinggi. Apa lagi bila dukungan dananya tersedia.

Secara otomatis refleksi budaya mereka dalam bentuk kesenian akan mendukung melicinkan proses ekspansinya di wilayah global. Film-film yang bersifat show of force, eksplorasi fiktif dan perang-perangan segera meluncur ke segenap pelosok bumi.  Kekaguman penonton akan superioritas mereka di bidang teknologi dan senjata pemusnah akan mengaburkan image mereka tentang kebutuhan hidup dan pengembangannya.

Momen Lahirnya Setan
Selain itu masih terdapat tragedi lain yang lebih bersifat eksistensial. Yaitu tragedi kebersamaan hidup dan kelangkaan sumberdaya alam. Hidup bersama orang lain memang asyik, karena dapat bergotong-royong dan berbagi-rasa dalam suka dan duka. Tetapi, setelah menyadari perkembangan jumlah manusia semakin membludak dan tidak terkejar oleh produksi sarana kehidupan, timbullah kecemasan manusia akan ditinggalkan kesejahteraan. Saat itulah lahirnya 'nafsu keserakahan' (syetan) di dalam dirinya untuk menawarkan solusi. Setiap individu mulai dipacu untuk  segera berangkat memperebutkan sumber daya alam. Dan kehidupan menjadi bagi yang terkuat.

Refleksi budaya mereka dalam bentuk kesenian akan merangsang selera penonton untuk hidup berfoya-foya, menghamburkan waktu, sarana dan energi untuk mengungkapkan segala yang kurang bernilai. Kontes 'seribu-ratu' dalam segenap ekspresi estetikanya bermunculan di panggung-panggung terbuka. Para pesertanya dipersiapkan dengan sarana dan prasarana yang mahal dari semua lingkung ummat, tak  terkecuali dari lingkungan beragama (non ormas). Demi 'dunia milik' dilecehkannya 'dunia diri'.

Terjadinya kedua tragedi yang melatarbelakangi chaos-nya kehidupan ummat manusia menandakan bahwa ummat manusia telah mulai tergelitik lagi untuk menundukkan ruang (kerajaan yang tak rusak) dan waktu (pohon khuldi) yang ditawarkan Iblis kepada Adam, dengan cara yang  memungkinkan dalam zamannya.

Paradigma Proses Kreatif
Meskipun berulang kali mengalami kegagalan di dalam memerankan diri,  kita mesti tetap berusaha dan terus berusaha sampai menemukan sebuah  paradigma proses kreatif yang masuk akal dan bebas dari kepentingan sepihak, supaya apat diterima oleh semua golongan. Dengan demikian dapat memancangkan harapan dalam mencari kemungkinan yang lebih  baik, yaitu situasi global yang dijaga bersama dan untuk kepentingan  bersama.

Telah kita maklumi bersama bahwa setiap individu manusia adalah sebuah otoritas (kekuasaan) yang memiliki daya mampu (potensi;qadar) yang terbatas. la dilepas dari sangkarnya (asal) untuk memerankan managerial-Nya di muka bumi. Tentu saja sebatas kemampuannya masing-masing. Oleh karena itu kedudukan manusia di tengah-tengah kehidupan ini adalah sebagai 'sebab'. Maka ia yang mesti memikul tanggung jawab terhadap baik-buruknya kehidupan dan  sejahtera tidaknya masyarakat.

Di dalam mengungkapkan potensinya untuk mencapai 'Tujuan', ia dihadapkan pada banyak hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Ia butuh memiliki sarana (fasilitas alam atau teknologi) yg memadai sebagai 'alat' untuk mewujudkan yang dikehendaki. Yaitu sesuatu yang dengannya memungkinkan tercapainya tujuan.

Ia dituntut untuk memiliki pengetahuan situasi, bermoral dan akomodatif, supaya hasil karyanya direspon oleh masyarakat (syarat). Yaitu sesuatu yang dengannya membolehkan sampainya tujuan. Ia harus mampu menahan diri dan memiliki pertimbangan yang akurat, hingga tahu persis dalam batas mana potensinya relevan diungkapkan (melek hukum: batas). Sesuatu yang dengannya menjamin tercapainya yang dituju.

Pengetahuan tentang dimensi esensial dari wujud kehidupan (Asal, Batas dan Tujuan) beserta dimensi eksistensialnya (Sebab, Alat, dan Syarat) dapat kita tegakkan untuk membangun sebuah paradigma proses kreatif yang akan menawarkan jalan keluar dari situasi chaos yang berlarut-larut demi menggapai terang yang kita harapkan bersama.

Membangun Budaya Baru
Dengan Paradigma Proses Kreatif yang sederhana, mudah dipahami, dan bisa dilaksanakan oleh semua (universal), setiap kelompok ummat akan dapat melahirkan budayanya sesuai dengan cita-rasa, potensi dan kebutuhan masing-masing tanpa mencederai pihak lain. Hingga mereka menemukan identitas budayanya yang mampu menopang wujud kehidupan global yang fair. Bukankah makna berbudaya adalah  memberi kepada pihak lain? Tetapi, tanpa menemukan identitas diri, tak ada sesuatu pun yang bisa diberikan. Betapa besar peran 'penguasaan diri' di dalam proses berbudaya dapat kita maklumi,  karena jangkauannya adalah nasib orang banyak (masyarakat). Sedang asetnya adalah menggarap diri seumur-umur.

Setelah identitas budayanya ditemukan, barulah mereka menjadi relevan untuk memasuki dimensi proses yang lebih tinggi, yaitu: berorientasi kebenaran. Setelah itu tak ada lagi orientasi identitas yang memporak-perandakan keutuhan ummat, karena  identitas eksistensialnya telah ditemukan. Nilai pribadi dan nilai komunitas akan ditentukan oleh output-nya kepada kehidupan yang lebih luas. 

Dengan demikian globalisasi menjadi mungkin, tanpa harus memojokkan budaya apa pun di dunia ini. Dan insya  Allah akan diterima oleh bangsa-bangsa lemah, karena mereka  tidak lagi menjadi sasaran ekspansi kebutuhan bangsa-bangsa maju,  melainkan sebaliknya akan menjadi sasaran pemikiran dan  kepedulian dari mana dan siapapun yang telah berorientasi  kebenaran. 

Muhammad Zuhri: Sekarjalak, 16-4-’05 Seminar Budaya, Surabaya: Jangan Menangis Indonesia, Festival Seni di Kompleks Balai Pemuda Surabaya.