14.6.11

Metode Praktis Meng-Upgrade Diri

Setiap kita selalu berupaya agar bisa terhindar dari duka derita. Padahal bila kita cermati, duka derita merupakan strategi Tuhan untuk mendewasakan diri, mendewasakan manusia. “La takhof wala tahzan innallaha ma`ana", Tidak perlu takut dengan duka derita. Tidak perlu bersedih. Alloh senantiasa bersama kita. Duka derita adalah anugerah Allah, sebagai peringatan untuk mengubah situasi diri agar lebih baik. Sepanjang sejarah umat manusia tidak pernah ada yang bebas dari duka derita. Sering kali duka derita kita anggap sebagai cobaan, ujian. Lebih dalam sesungguhnya ia adalah anugerah, rizki, ilmu, rahmat sebagai hikmah, sebagai petunjuk untuk menemukan diri agar lebih baik. Lebih positif.
Suka cita dan bahagia tidak bisa diharapkan datang dari luar diri. Jangan berharap suka cita, bahagia, merdeka, dan bebas, diselenggarakan oleh pihak lain. Karena orang lain juga sibuk mencari kebahagiaannya sendiri-sendiri. Selesaiakan sendiri masalah hidup dengan berhubungan lebih baik dengan orang lain.

Ada seorang sufi yang jika sakit dia tidak mencari dokter, toko obat atau juru alternatit penyembuh. Begitu ia merasa sakit, cepat-cepat dia keluar rumah mencari fakir miskin atau anak yatim untuk menolong atau membantu mereka dengan meberikan uang, pakaian atau barang berharga simpananya, maka sembuhlah ia dari sakitnya.

Betapa hebat dan dahsyatnya energi yang terkandung dalam niat, dalam gerak motivasi untuk merubah keadaan, merubah diri utamanya ketika mengalami kesusahan dengan cara tidak menyalahkan pihak lain, sehingga akan memancing aura alam dan mengundang datangnya campur tangan Allah. Tentu ketika didasari pengakuan tulus dan pasrah dihadapan Alloh, meskipun melalui pihak lain datangnya masalah tersebut. Sesungguhnya ketika orang lain membalas perilaku buruk kita, atau berbuat sesuatu yang negatif pada kita, sehingga mengkendala bagi perkembangan diri kita, semua itu bukan atas kemauannya sendiri. Namun ada peran serta Allah supaya kita atau ’si pihak yang bersalah’ sama-sama berubah.

Kesuksesan, kebahagiaan, kesenangan, kemerdekaan, dan kebebasan harus diselenggarakan oleh setiap personal untuk dirinya. Setiap sesuatu yang mengkendala datangnya kesenangan atau kebahagiaan, janganlah coba-coba mengkambing hitamkan orang lain, karena Allah bias murka, serahkanlah kembali kepada Alloh, Alloh Maha Adil. Jangan sekali-kali berkata, ”Gara-gara Si itu saya jadi tidak beruntung, gara-gara Si ini saya jadi begini...dsbdst,” semua itu tidak benar, ini emosi, itu nafsu luwammah. Allah senantiasa memberikan fasiltas dan jaminan bagi orang yang selalu ketika menghadapi kendala, dia tidak menyalahkan orang lain, tapi ia berbenah diri. Carilah rumus dan raihlah jaminan itu. Bila engkau temukan, maka setiap duka derita dan masalah itu jadi enerji, jadi anugerah. Karena itu berbenah diri tidak cukup dengan melafadkan Astaghfirulah, karena Istigfar itu ikrar. Ikrar atas penyaksian dihadapan Alloh atas keterbatasan diri sehingga memerlukan pihak lain, ikrar atas kekhilafan diri sehingga memerlukan media lain sebgai penetralisir, ikrar mengakui dengan berani kesalahan diri dan siap memaafkan pihak lain. Inilah muatan makna ayat ”Innallaha la yughoiru ma bikoumin... ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah situasi suatu kaum sebelum mereka itu mengubah sikap hidupnya sendiri, apa yang ada di dalam hatinya." Dengan begitu semua kendala diri bisa lepas untuk memulai lagi dari titik netral melangkah maju kea rah lebih baik.

Kesimpulanya adalah, datangnya kesuksesan, kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan harus melewati proses perjuangan dan diri kita sendirilah yang menyelenggarakanya. Karena situasi tidak enak, menderita, terganggu orang lain, tidak akan diubah Allah sebelum kita sendiri yang mengubahnya. Betapa Al~Qu’ran mendidik setiap individu untuk senantiasa mandiri. Tanpa kemandirian seseorang tak akan sanggup menolong orang lain, setelah ia mandiri baru bias memudahkan hidup orang lain.

Sampai-sampai cara bodoh ditempuh para sufi terdahulu, jika sakit tidak mau berobat. Dengan hanya membawa uang, atau makanan kemudian ia berikan pada fakir miskin, maka ia sembuh. Ia sembuh bukan dengan obat tapi dengan amal sholeh. Karena ia telah mengubah sikapnya dari tertutup menjadi terbuka, yakni menjadi berguna bagi orang lain. Dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan orang yang berguna bagi orang lain. Rupanya modal keimanan akan sunnah Rosull bahwa; “Bentengi hartamu dengan zakat dan sembuhkan sakitmu dengan sodaqoh” telah cukup mengubah keadaan.

Agama memerintahkan kita agar menolong orang lain, dengan menolong maka keberadaan kita menjadi bermakna. Itulah hakikat agama. Jika ingin mencapai surga hanya buat diri sendiri, tapi membiarkan orang lain di neraka ragukanlah itu pasti bukan ajaran agama. Kita harus mencari syurga dengan bisa mensyurgakan orang lain. Kita mencari kesenangan dengan bisa manyenangkan orang lain. Itulah kepribadiaan yang diharapkan Allah dan Rasul, kepribadian untuk ditegakkan di kalangan orang beriman. Kepribadian Rosululloh Mukhammad bin Abdullah yang telah mengalami Isra’ dan Mikraj bukan untuk diri sendiri. Perjalanan sudah sampai kepada yang dituju, Alloh, namun tidak mau bersendirian menikmati surga, maka turun gununglah beliau menemui ummatnya. Subkhanalloh.

Inilah yang oleh Penyair Sufi yang Fisikawan dari Pakistan, Muhammad Iqbal dinyatakan sebagai: Carilah nafkah dalam sirna, Carilah upah dalam mati.

Jadi, mau apa lagi engakau wahai saudaraku ? Kelezatan dunia itu akan datang sendiri setelah kita bisa mengenakkan orang lain. Kesenangan itu akan datang sendiri, kalau engkau bisa menyenangkan orang lain. Inilah rumus keadilan Tuhan.

Tidak ada sesuatu yang hilang dalam diri kita, kebaikan dan keburukan sekalipun. Semua dicatat oleh sel-sel syaraf, benak manusia dan Malaikat. Allah tidak buta, ciptaannnya juga tidak buta, sel merekam suara dan perbuatan. Semua makhluk Tuhan termasuk komponen alam dalam keadaan jujur merekam perbuatannya.

Hati-hatilah berbuat, karena hidup cuma sekali, gagal di kehidupan ini, maka sudah tidak ada kemungkinan lain untuk bisa berbuat baik di alam lain. Pesan Islam terhadap pemeluknya adalah supaya engkau bertaqwa dengan menjadi khalifah di bumi dan semua dilaksanakan atas ridlo Alloh.

Penjaralah diri kita sendiri, demi kepentingan bersama. Karena kita ingin hidup, senang bersama orang lain. Itulah tanda persaudaraan, tanda mencintai orang lain, tanda di dalam diri kita ada iman. ”La yukmin wadukum...” Belum iman seseorang di atara kamu sebelum melayani dengan rasa cinta orang lain sebagaimana kamu melayani diri sendiri.

Di dalam diri ini ada hukum-hukum ketat yang kita pegang teguh demi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Kita tidak akan sengsara, tidak akan merasa sakit karena itulah sesungguhnya manifestasi cinta. Inilah wujud cinta pada sesama yang hidup. Inilah iman kita pada Allah.

Hukum itu adalah bagaiman kita sanggup mengubah diri supaya tidak stagnan, tidak mengundang predikat buruk orang lain. Kalau ada predikat buruk dari orang lain adalah karena salah diri kita. Dan tidak ada yang bisa merehabilitasi kecuali diri kita sendiri. Berubahlah kalau mau mengubah situasi hidup.

Pesan Al~ Qur’an di dalam beragama yang hakikatnya mengabdi pada Allah realitanya adalah mengabdi pada seluruh umat manusia. Siapkan diri kita untuk mengabdi pada seluruh manusia. Pasti bisa, kita bias mengabdi kepada yang di bawah kita di kantor-kantor, di instansi-instansi, di organisasi-organisasi. Dengan mengabdi kepada bawahan, maka kita akan menemukan makna keberadaan diri kita.

Maka tidak takut ketika ajal datang. Diri akan siap berkata; ”Aku telah melakukan apa yang aku bisa. Sekarang aku dipanggil, masalah penilaian terserah Tuhan. No problem. Aku sudah melakukan yang terbaik untuk hamba-hambaNya.” Maka dia akan husnul khotimah yaitu sikap hidup yang terbaik. Ia tidak menyesal meninggalkan tamasya di kulit bumi ini. ”Semua kebaikan dan amal shaleh sudah kulakukan, penilaian bukan urusanku, kini kesempatanku sudah habis, silahkan ambilah Ya Rabby.. ” Selesai hidup. Dan surga pasti kuraih.

Bersyukurlah engkau bila masih punya kesempatan mencari ilmu, karena dengan ilmu supaya engakau bisa beramal lebih banyak. Dengan harta dan jabatan adalah untuk bisa melindungi dan melayani orang lain lebih banyak. Semua dalam rangka mengabdi pada orang lain, pada umat manusia. Guru kami KH. Syeikh Mukhammad Zuhri bin Mukhammad merumuskan kalimat;

Inilah yang dimaksud dengan ’Ismullahi Adzom’.
Nama Allah yang paling sempurna.
Nama Allah yang paling mulia.
Nama Allah yang ke 100.
Yaitu nama Allah yang bukan kata-kata, tapi perbuatan, kondisi diri kita yang terbaik.
Nama Allah yang agung, yang apabila Allah disebut dengan nama itu, apapun yang diminta akan dikabulkan.
Nama apakah itu?
Yaitu pengabdian manusia kepada semua yang ada, seumur hidup.
Dialah nama Allah yang paling mulia, yaitu mengabdi kepada seluruh umat manusia seumur hidup bahkan sampai sedetik sebelum mati.
Mengabdi pada sesama manusia, itulah nama Allah yang terbesar.
Karena nama hanya simbol, hanya kata-kata.
Kata-kata menjadi ada karena ada kenyataan.
Ada kenyataan yang diberi simbol dan nama.
Kenyataan itu adalah kenyataan diri kita.
Asma wujudnya adalah siap mengabdi pada umat manusia.
Siapapun bias menyandangnya.

Adalah sesuatu yang hebat ketika seseorang sanggup melakukan sesuatu hal yang menyebabkan dia harus menanggung resiko akibatnya. Itulah kejantanan manusia, yang diluar kemampuan insan biasa untuk menangagungnya. Hal itu tidak mungkin jika tidak dilatih. Tidak usah yang berat-berat dulu. Latihlah dengan kepedulian pada orang yatim, fakir-miskin. Orang cacat diciumi, dirangkul seperti anaknya sendiri, padahal ia bunting kaki, tangan, padahal ia buta. Kecintaan dan kepedulian yang tinggi pada yang membutuhkan.


Dengan demikian pengabdiann menjadi tidak sekadar kata-kata. Pengabdian dirasakan dan disaksikan oleh orang yang menerima pengabdian, yang menerima amal sholeh. Dia menjadi saksi. Pengabdian itu membutuhkan saksi, siapa yang ditolong. Dan akhirnya orang itu berkata, ”Dialah penolong saya!” Inilah bagian ilmu syahadah.


Adakah seseorang mengatakan diri kita penolong, tapi kita tidak pernah menolong? Tidak mungkin !. Orang lain yang memperkenalkan diri kita sebagai penolong, ”Engkau telah menolongku, dan benar aku merasakan dan menyaksikan pertolonganmu!” Orang lain itu sangat penting. Merekalah yang mengidentifikasi diri kita, yang memberi makna keberadaan kita. Orang lainlah yang menegarkan kita di depan Tuhan. Mereka menjadi saksi bahwa kita adalah penolong, merekalah saksi bahwa kita banyak amal sholehnya.


Orang seperti itu akan tegar. Kematian itu kecil dihadapannya. Yang mati adalah fisik, intelektual, moral, ilmu dan nilai, sedangkan ruh itu tetap hidup. Orang seperti itu adalah sosok yang mengambil alih manajerial Tuhan, pengurusan Tuhan. Ia sanggup menolong dan berkorban bagi orang lain yang menderita, baik yang ia kenal maupun tidak. Saat itu ada sesuatu yang bukan akal, bukan fisik, dan bukan hati nurani. Saat itu ada kehidupan, kehidupan spiritual, yaitu menanggung semesta menurut kemampuan yang ada. Yang bodoh adalah orang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Orang hebat adalah yang menyamai nabi dalam bersikap hidup terhadap manusia, siap berkoban seumur hidup untuk semua manusia, yang sempat ditemuinya dalam proses hidupnya, meskipun bukan sebangsanya atau bukan saudaranya.


Allah tidak menyia-nyiakan apa yang kita perbuat untuk orang lain, baik maupun buruk. Kelak kita bertemu dengan Allah, mempertanggungjawabkan perbuatan diri, saksinya adalah diri sendiri. Mata, otak, sel, komponen alam menyaksikan, merekam perbuatan diri kita baik atau buruk. Sel-sel adalah materi yang merekam semua perbuatan, tidak saja pada diri kita, tapi juga pada orang yang kita tolong atau yang kita lukai. Semua ada rekamannya dan rekaman itu tidak akan hilang. Rekaman itu harus dipertanggung-jawabkan. Sebagaimana tulisan yang engkau baca di layar komputer ini adalah hasil recording dari tut-tut huruf yang ada di key-board dan disimpan dalam file juga sebagai wujud pertanggungjawaban dedikasi anugerah ilmu untuk kebaikan kita semua.


Karena itu ada ayat yang berbunyi, ”Bila manusia berbuat baik, ia berbuat baik terhadap dirinya sendiri, apabila ia berbuat buruk, sesungguhnya ia sedang berbuat buruk terhadap dirinya sendiri.”


Konsistenlah menjadi Ismullahi Adzom, menjadi nama Allah yang ke seratus, pelaku manajerial Tuhan, menurut kemampuan dan asset yang ada kapan saja, di mana saja.*

*Transkrip General Judisium By: Muhammad Zuhri
Takdzim bakti kami kepada; H. Alief bin Muhammad Rusdi, Kesugihan-Majenang Cilacap, Hj. St. Ruqiyah binti Abu Ma'ad, Kebumen-Majenang Cilacap, Kafilah Iden Lily Sumantri bin Syahidi, Garut-Bandung, ‘Abdul Azis bin Muzaini, Banten-Jakarta, KH. Mukhammad Zuhri bin Mukhammad, Margoyoso-Kajen Pati, KH. Ali bin Maksum bin Akhmad, Lasem– Krapyak Yogyakarta. Mukhammad ‘Ainun Nadjib bin Mukhammad ‘Abdul Lathif, Menturo Sumombito–Jombang, Aby Mukhammad bin Mukhammad Zamry, Bukit Tinggi Padang-Air Molek NAD . KH. Khoirul Anam, Ceweng Dander - Bojonegoro, Prof. DR. Damardjati Supadjar, Sleman-Yogyakarta, .